Ditulis Oleh: SAVRAN BILLAHI
Sang surya masih tertidur pulas, belum
mau bangkit dari tempatnya. Namun, suara weker terdengar mengetuk-ngetuk telinga untuk sadar dalam mimpi. Telingaku
pun otomatis mengirimkan rangsangan kepada otak untuk bangun dari pulasku.
Terlihat samar jarum jam menunjukkan waktu dini hari. Aku pun bangun dari
pulasku.
Suasana
kamar terlihat seperti biasanya, begitu tenang dan berbau keilmuan dengan
tumpukan buku yang menemani dengan penuh kesabaran. Aku pun beranjak dari diam,
berjalan membuka tirai jendela. Subhanallah,
ungkapan yang selalu kuucupkan tiap kali membuka tirai jendela. Bagaimana
tidak, suasana kota Paris yang terkenal dengan the city of lights selalu meronta-ronta mengeluarkan cahaya dari
segala sudutnya, meminta pujian dan takjub kepada insan yang melihatnya.
Kilauan lampu-lampu mencurahkan warna yang agung bagai kilauan emas menyapa
dengan keramahan suasana kota biru yang membahana ini.
Di
tengah kilauan cahaya tersebut menjulang tinggi, berdiri melangit sebuah menara
dengan sanggahan empat kaki, merefleksikan sebuah raksasa yang berdiri dengan
penuh wibawa. Ya, menara itu adalah menara Eiffel, ikon negara paling romantis
di jagat ini.
Paris
menurutku merupakan kota terseksi sedunia, ia cantik sekaligus merangsang
syahwat semua insan untuk datang kepadanya, membuka rasa penasaran akan
kemolekannya, menawarkan bangunan-bangunan eksklusif sebagai bagian dari
tubuhnya serta kecupan indah pengalaman yang didapat darinya. Paris memang kota
mewah penuh cita rasa.
Terharu
rasanya, kalau aku mengingat memori delapan belas tahun yang lalu. Tak mungkin
rasanya aku dapat merasakan suasana indah mempesona ini, apalagi menikmatinya
bersama istriku tercinta, Nurul Fatih serta kedua anakku, Wahyu dan Diba. Kalau
bukan berkat prestasi yang ku raih karena dukungan kawan-kawanku di ladang
hijau pengetahuan, tak mungkin kaki ini dapat menginjak tanah yang penuh dengan
ilmu yang ku minati, sejarah.
Memang
benar petuah guruku dulu, bahwa seseorang terangkat derajatnya oleh pengorbanan
yang dilakukan bukan dengan sekedar keinginan. Nasehat itu membuatku untuk
berjuang lebih keras dan tekun dalam menghadapi segala macam problematika
kehidupan, baik di Indonesia maupun di negeri seberang.
“Pa…pa…”
panggilan istriku terdengar jelas di telinga, suaranya agak sayup menunjukkan
ia baru sadar dari tidurnya.
“Ya,
mah” sahutku sambil menikmati suasana indah kota Paris.
“Sudah
tahajud pa?” tanya istriku.
Sambil
geleng-geleng kepala aku menjawab, “belum mah”
“Oh,
yuk kita shalat!” ajak istriku.
Aku
langsung bergegas menuju kamar mandi untuk berwudhu dan menunaikan panggilan
Allah bersama istriku. Sembari berwudhu, istriku menyiapkan dan memasang
sajadah di tengah kamar. Setelah segala sesuatunya selesai, kami pun langsung
menunaikan shalat.
Tahajud
memang menjadi kebiasaan kami yang telah mendarah daging. Apalagi diriku, tiga
tahun di pesantren membuatku sadar betapa pentingnya tahajud. Nurul, istriku
pun melazimkannya dan seiring berjalannya waktu, ia pun mengikuti. Inilah
keluarga kami, berusaha untuk mensyukuri nikmat-nikmat-Nya dengan selalu
menambah kedekatan kepada-Nya. Setelah tahajud, aku mencium tangan kanan
istriku dengan penuh rasa cinta dan ia pun membalasnya dengan kecupan rasa
sayang seorang istri.
“Mah,
tolong ambilkan foto itu!” pintaku sambil menunjuk foto wisudaku delapan belas
tahun lalu.
“Oh
ya yah, ini” jawabnya sambil memberikan foto tersebut.
Aku
pun mengambilnya, menatapnya dan tiba-tiba
pikiranku melayang, menerobos masuk ke lorong waktu, mengingat
memori-memori yang tersimpan di balik foto itu.
“Kapan
ya mah, papa bisa berkumpul bersama mereka lagi?” tanyaku melihat foto itu.
“Kangen
ya pa? mungkin sebentar lagi kalau Allah mengizinkan” jawab istriku menghibur.
“Aamiin
mah, papa rindu mereka sekali, padahal dulu papa ingin cepat-cepat keluar dari
pesantren. Tapi sekarang, papa kangen sekali suasana di sana. Lucu, kalau papa
ingat memori dulu di pesantren, makan bersama, keceng-kecengan bareng teman. Ada yang dipanggil Syadam ‘Bon’, Asep
‘Ceper’, ‘Obama Sufi’, Aji ‘Luber’, Usuludin dan lainnya. Tidak bisa disangka,
papa bisa menjadi seperti ini” kenangku.
“Begitulah
pa, ada dimana saatnya kita kesal dan ada kalanya kita rindu. Itulah Allah,
Yang Maha membolak-balikan hati” kata istriku menenangkan.
“Tapi
papa bersyukur sekali bisa mengenyam pendidikan di sana. Papa bisa menemukan
guru-guru hebat yang selalu memberikan papa dan kawan-kawan falsafah hidup.
Berkat itu, papa bisa menjadi seperti ini”.
Obrolan
antara suami-istri itu pun sejenak terhenti, ketika aku melihat waktu akan
masuk waktu subuh.
“Mah,
dzikir dulu ya, obrolannya dilanjutkan nanti”. Pintaku mengakhiri pembicaraan.
∞∞∞
Pangkat, 12 September 2011
Lomba Karya Tuis Ilmiah Remaja Tingkat SMA Nasional
Topik :
Hubungan Internasional Indonesia-Maroko
Pengumpulan Naskah :
30 November 2011
Pengumuman Pemenang :
5 Desember 2011
Persentasi :
11-12 Januari 2012
Tempat :
Kedutaan Besar Maroko
Hadiah :
Wisata pendidikan ke Maroko satu bulan
Tersontak
aku melihat pengumuman itu, apalagi melihat iming-iming hadiahnya. Timbul
keinginan untuk mengikuti perlombaan tulis tersebut. Apalagi lomba ini sesuai dengan
kemampuanku, dunia tulis-menulis. Tiba-tiba aku melamun, membayangkan nanti
mendapat hadiah tersebut, terbang menuju Maroko, salah satu negara yang
memiliki banyak situs sejarah.
Teeeeett….
Bunyi
jaros menyadarkan lamunanku. Aku baru sadar bahwa aku masih di pesantren. Aku
pun langsung menon-aktifkan laptop dan merapikannya kembali. Dengan cepat aku
berlari untuk mengembalikan laptop ke LC (Laptop
Center). Aku berharap laptopku tidak disita oleh ustadz Asep, sang penjaga
LC. Tapi aku ragu, waktu sudah lewat dari pukul lima sore. Dengan tergesa-gesa
aku terus berlari seperti pedagang kaki lima dikejar Satpol PP. Benar saja,
sesampainya di sana laptopku diamankan dalam seminggu. Terpaksa aku pasrah.
Malamnya,
aku menghubungi orangtuaku, mengabarkan bahwa aku tertarik untuk mengikuti
lomba tulis itu. Namun, ketika aku memberitahukan meraka, tidak ada tanggapan
yang berarti kecuali perkataan “ikuti saja”. Tak ada komentar, motivasi atau
arahan yang ku terima. Aku hanya bisa positive
thinking bahwa orangtuaku sedang mengantuk, tidak bergairah untuk menerima
kabarku.
Terpaksa
aku mencari informasi sendiri. Mencari buku di perpustakaan, tanya sana-sini,
menggali informasi dari para ustadzku, begadang sampai larut malam,
mengobarkankan jam pelajaran demi merangkai kata sampai ketiduran di mimbar
masjid. Nyamuk dan baqatun pun menjadi teman setiaku setiap malam.
Teman-temanku
sampai berkata, “sok sibuk banget si Ifan”. Jadilah, aku katakan kepada mereka
dengan penuh rasa percaya diri bahwa aku akan menginjakkan kaki di negeri
seberang sana. Entah, mengapa aku hanya bisa menunjuk jauh, tanpa mengatakan
“Maroko”, negara yang dijadikan hadiah perlombaan tersebut. Itu menunjukkan
bahwa aku belum yakin, tapi dari situ aku meningkatkan usaha dan keyakinanku
untuk membuktikan bahwa aku bukan seorang pembual.
Mimpi
seperti itu tentu dirasa sangat mustahil sebab aku merasa diriku hanya seorang
santri yang masih hijau yang berani diam-diam menggapai dunia. Dan itu benar,
sampai tanggal 30 November 2011 aku belum mengumpulkan naskah. Berakhirlah
impianku kali ini. Terlilitlah perasaan kesal dan kecewa di hatiku. Aku
langsung menghibur diri dengan membaca buku “Filsafat Hidup K.H. Ahmad Rifa’I
Arief”. Aku merinding membacanya, banyak petuah hidup yang bisa diamalkan. Sampai
pada halaman tujuh puluh, aku mebaca petuah pak kyai tentang cara mendapatkan
kesuksesannya, kurang lebih seperti ini: Kibarkan
terus semangat belajarmu Nak, berjalan terus sampai ke batas, berlayarlah
sampai ke pulau. Tak ada lautan yang tak bisa diseberangi. Tak ada daratan yang
tak bisa dilalui. Bila tekad tetap terpatri, bila semangat juang tetap
dimiliki, kemenangan pasti menjadi kenyataan.
Deg,
aku tersontak membaca tulisan itu, apalagi pada kalimat, “tekad yang terpatri”
dan “kemenangan pasti menjadi kenyataan”. Aku tiba-tiba seperti terdoktrin oleh
kalimat tersebut. Petuah ini menurutku mengisyaratkan bukti dari sebab-akibat.
Petuah yang rasanya langsung menyihir kebulatan hatiku dan menyindir tekadku
yang masih lemah. Ya, kemenangan adalah akibat dari adanya tekad yang kuat. Hal
tersebut adalah suatu yang pasti.
Aku
langsung merenung, mengkaji kembali petuah pak kyai tersebut. Membacanya
berulang-ulang sampai akhirnya aku menyimpulkan bahwa kegagalanku kali ini
adalah akibat dari lemahnya tekadku. Mimpi akan hanya menjadi mimpi jika tidak
direalasasikan dengan perbuatan dan usaha yang mantap. Tetapi di perenungan
itu, datang setan menggoda, “itu bukan masalah tekadmu, itu karena kamu tinggal
di pesantren”. Aku langsung membuang bisikan itu. Aku pikir fasilitas tidak
akan mampu menghalangi tekad yang kuat. Setelah itu pun aku berjanji pada
diriku sendiri, bahwa jika ada kesempatan yang kedua, aku tidak akan
membuangnya. Itulah tekadku. Aku pun melanjutkan bacaanku sampai akhirnya
terbawa ke alam lain.
∞∞∞
“Fan…Fan…”
terdengar suara samar memanggilku.
“Ada
apaan sih?” ucapku tersadar bahwa aku ketiduran membaca buku.
“Mudif
tuh, orangtuamu menunggu di saung”
“Ha…
mudif?” tanyaku kaget, maklum uangku sudah kembang-kempis.
“Iya,
bangun makanya”
“Iya…
iya… makasih” ucapku terkantuk.
Aku
bergegas mencuci muka ke kamar mandi dan mengganti pakaianku yang masih
terlihat lusuh. Sudah lama aku tidak mudif. Sebelumnya, mereka hanya mampir
dari Pandeglang. Itu pun hanya memberi kabar, dus air dan uang. Setelah itu,
kembali ke rumah. Berbeda dengan setahun yang lalu, mereka terlihat lebih
memanjakanku. Mungkin pada umurku yang ke-16 ini mereka sudah menganggapku
dewasa, tak perlu lagi manjaan yang berlebihan.
Aku
sangat mengenal watak kedua orangtuaku, ibuku keturunan Sunda dan ayahku
keturunan Jawa-Madura. Maka wajar bila aku mendapatkan dua pendidikan yang
berbeda, halus dan keras. Ketika aku sedang keras kepala, itulah tugas ibuku
untuk melemahkan dan ketika aku berada di zona yang lemah, itulah tugas ayahku
untuk memotivasi. Aku rasa diriku sedang berada di zona yang kedua. Aku butuh
ayahku. Untunglah meraka datang hari ini, aku dapat menceritakan segala hal
yang tertimpa padaku, khususnya kejadian kemarin.
Sampai
akhirnya aku menemui mereka dan bercerita segalanya sembari mengunyah nasi dan
lalapan yang dibawa dari rumah. Di ujung cerita, ayah memberikanku selembaran
berwarna yang ternyata merupakan brosur perlombaan karya tulis ilmiah tingkat
SMA nasional. Aku sangat senang menerimanya. Ini membuktikan bahwa orangtuaku
masih memberikan perhatian pada anaknya. “Untuk kali ini ayah siap membimbing”
kata ayahku penuh wibawa. Hati yang tadi seperti ladang kering seakan tersiram
oleh hujan yang menumbuhkan bunga-bunga yang penuh kesejukan.
Aku
melihat brosur itu dengan teliti, tertulis jelas, “Tema: Membangun Peradaban
Indonesia”. Terdapat delapan topik yang tertera dan aku memilih topik tentang
demokrasi dan nasionalisme, sesuai dengan kompetensiku di bidang ilmu sosial.
Dimulailah
kembali perjuanganku, perjuangan part 2.
Kali ini aku benar-benar membulatkan tekad. Mimpi harus dikejar dengan usaha.
Menurut kabar dari ayahku, lomba ini cukup ketat karena pesertanya banyak
berasal dari sekolah favorit. Aku tak boleh kalah, aku harus mengharumkan nama
almamaterku, Daar el Qolam 3. Kali ini pula aku tak boleh buta dengan
bayang-bayang hadiah, karena aku sadar bahwa itu adalah api yang membakar
mimpi.
Melihat
ketatnya iklim persaingan, aku harus cerdas membagi waktuku, tidak ada alasan
untuk berdiam diri dan kalah. Aku bukan keledai bodoh yang jatuh pada lubang
yang sama. Aku akan menggunakan otakku lebih keras dari biasanya serta tangan
yang lebih banyak bergerak daripada biasanya.
Setiap
hari aku mencari bahan, siang dan malam ku tantang hingga aku terserang tipus
karena kelelahan dan keadaan ini memungkinkanku untuk pulang. Ini adalah
sesuatu yang tidak aku inginkan. Padahal seminggu ke depan memasuki masa ujian.
Keadaan ini memaksaku untuk memahami pelajaran serta mencari bahan sebagai
bumbu tulisan dalam keadaan yang tidak seperti biasanya. Tapi dalam momen ini,
aku harus memanfaatkannya untuk bertanya lebih kepada ayahku, karena aku kira
ia sangat berkompeten dalam bidang tulis-menulis. Jujur, sampai sekarang aku
belum dapat mengerucutkan topik tulisan, topikku masih sangat global.
Aku
perlu diskusi dengan ayahku, karena sekarang hanya ia yang bisa ku tanya. Tapi
sayang, akhir-akhir ini ditumpukkan banyak pekerjaan. Ia selalu pulang ba’da isya dan langsung istirahat, tidak
enak hati aku mendekatinya. Sampai datang waktu itu, ketika aku harus kontrol
ke dokter untuk kedua kalinya.
Kali
ini ayahku bersedia untuk mengantarkanku, “ini kesempatanku”, bisikku dalam
hati. Memang benar, di tengah perjalanan kami mengobrol banyak tentang lomba
tulisku. Hal yang paling sering ku tanyai adalah mengenai pengerucutan topik.
Awalnya aku merasa bingung , karena ayah hanya menyarankanku untuk mencari
bahan tulisan dari lingkungan sekitar. Tapi di tengah kebingungan itu, ayahku
memberikan saran keduanya, “coba kaitkan topik dengan pelajaran di pesantren
saja” gumamnya memberi nasehat. Dari situ sedikit cahaya pun masuk ke akalku.
“Fiqih”
jawabku semangat.
“Terlalu
melebar” kata ayahku menyanggah.
“Mahfudhat”
ucapku lagi.
“Ehm…
boleh. Tapi terlalu datar” sanggahnya lagi.
Aku
pun terus memutar otak, mengingat pelajaran-pelajaran di pesantren. Sampai
muncul bayangan ustadz Fahmi, guru muthala’ahku.
“Nah
itu bisa, coba Ifan hubungkan cerita-cerita dalam muthala’ah dengan nilai-nilai
demokrasi. Kan, banyak cerita inspiratif di sana. Mungkin itu bisa dicoba”
saran ayah. Ia juga seorang santri tiga puluh tahun lalu, maka ia mafhum akan
dunia kepesantrenan.
Dari
diskusi itu ceritaku dimulai. Dari sana pula aku sekarang mengerti bagaimana
memperjelas sebuah tema tulisan. Berkat itu, akalku terbuka untuk menulis.
Setelah
sakit selama seminggu, aku kembali menuju pesantren untuk mengikuti ujian akhir
semester. Di tengah suasana ujian yang kelabu, aku sempatkan tanganku untuk
menulis, tentunya tanpa membuang ujianku. Seperti menyelam sambil minum air,
aku melakukan dua pekerjaan sekaligus sampai aku lupa bahwa tiga hari lagi
merupakan waktu akhir pengumpulan. Aku pun bingung mengatasi masalah ini. Aku
tidak ingin kalah untuk kedua kalinya. Hingga akhirnya aku putuskan untuk
mengadu lewat gagang telepon.
Lima
menit aku mengadu berusaha meneguhkan jiwa, menata hati, meminta jalan keluar.
Tetapi di tengah pengaduanku, ibuku memberi kabar gembira bahwa waktu
pengumpulan dipending karena melihat situasi siswa SMA yang sedang mengikuti
ujian akhir. Huft… akhirnya aku bisa bernapas lega, memfokuskan diri menghadapi
ujian.
∞∞∞
“Fan,
gimana tulisannya? Sudah selesai?” tanya ayahku sambil menyetir mobil.
“Belum
semua, mungkin nanti di rumah, Ifan janji akan menyelesaikannya liburan kali
ini” jawabku.
“Hal
yang harus diperhatikan dalam karya tulis ilmiah itu data Fan. Ifan bawa buku
muthala’ahnya kan? Kalau bawa, nanti klasifikasikan judul-judulnya dengan
nilai-nilai demokrasi yang Ifan tulis” tambah ayahku.
“Bawa
bukunya kok yah, maksudnya diklasifikasikan gimana?” tanyaku bingung.
“Ya
diklasifikasikan, pisahkan judul-judulnya dan kelompokkan dengan nilai-nilai
demokrasi yang bersangkutan, lalu analisis”
“Oh
Ifan mengerti, nanti Ifan coba”
“Nanti
kita bahas lagi di rumah” ucap ayahku.
Sesampainya
di rumah, aku tersungkur di ruang TV sambil mendengarkan lantunan syair yang
dilagukan dengan indah sembari menggerakkan jemari menekankan tombol-tombol
keyboard dengan kecepatan super. Sejenak terhenti, mengerinyitkan dahi
memanggil ide dari alamnya yang ghaib untuk disampaikan di layar monitor.
Puas
sekali rasanya bisa menyambungkan pikiran, jemari dan laptop dalam satu waktu
sepanjang pagi dan malam. Di waktu itu, aku mengingat-ingat pelajaran
muthala’ah yang diajarkan ustadz Fahmi di kelas. Kali ini aku tak boleh
membuang kesempatan. Aku tak mempedulikan mataku yang memerah keletihan. Aku
terus mengingat kata-kata pak kyai bahwa kemenangan adalah hasil dari keyakinan
yang terpatri kuat. Walau napas mulai terlihat parau aku tak peduli, aku puas
menuangkan ide-ideku.
Tanpa
sadar ibuku mendapati aku tertidur di ruang TV. Aku kaget, Ia membangunkanku
dengan mengenakan mukena. Ia menyuruhku untuk tidur di kamar, tapi keyakinanku
membuatku untuk memilih melanjutkan tulisan. Ibuku pun melazimkan.
Setelah
seminggu penulisan serta sedikit koreksi dari ayah, aku mengirimkan tulisan itu
melalui email. Bismillahirrahmaanirrahim,
ucapku. “Sekarang tinggal tawakal Fan, pengumumannya sebulan lagi, banyak
doa” nasehat ayahku.
∞∞∞
Sebulan
kemudian ayah meneleponku bahwa aku berhasil masuk sepuluh besar, aku terkejut
sekali apalagi aku berada di posisi pertama dalam penulisan. Wahana
perjuanganku dalam memperjuangkan tulisan dalam waktu kurang lebih tiga bulan
terbayar oleh pengumuman tadi. Sebagai pemula aku merasa puas. Dengan demikian,
minggu depan aku akan berangkat ke Jakarta untuk mewakili Daar el Qolam 3 pada
babak persentasi melawan sekolah lainnya.
Aku
merasa ciut ketika aku tahu bahwa lawan-lawanku banyak berasal dari sekolah
terkenal apalagi beberapa dari mereka sudah pernah menjuari beberapa lomba
tulisan ilmiah lainnya. Tapi aku akan membuktikan kepada mereka bahwa pesantren
juga bisa bersaing. Benar saja, pada waktu persentasi aku berdiri gagah
mempersentasikan tulisanku di hapadan para juri, yang kebanyakan bergelar
profesor. Mereka terheran ketika melihat alat peragaku hanya berupa tiga buku
arab klasik di tangan, tidak seperti yang lain yang membawa alat peraganya
berupa penelitian ilmiah. Mereka pun banyak bertanya tentang buku muthala’ah,
baik dari isinya maupun cara mempelajarinya. Dengan yakin aku menjawab semua
pertanyaan itu dengan tenang.
Hari
semakin larut, raut wajah peserta pun semakin kusam oleh rasa ketegangan
menunggu hasil lomba. Di tengah penantian, kami saling bertukar pengalaman dan
bercanda satu sama lain untuk lebih mengakrabkan diri kami. Di tengah canda
kami, para juri akhirnya datang dan mengumumkan hasil perlombaan. Kami para
peserta tegang, hidung kami kembang kempi, jantung kami berdebar ketika para
juri memanggil nama kami satu per satu. Betapa bahagianya aku, ketika nama
almamaterku dipanggil pada urutan keempat. Para juri pun memberikan
penghargaan, berupa sertifikat dan uang jutaan rupiah. Aku merasa puas karena
ini adalah hasil kerja kerasku sendiri.
Setelah
pembagian hadiah selesai, kami pun duduk kembali mendengarkan seminar yang
diadakan dari LIPI (Lembaga Penelitian Indonesia). Betapa kagetnya aku ketika
mereka mengabarkan bahwa para finalis dalam lomba ini akan diberangkatkan ke
Jepang. Aku langsung bersujud syukur di tengah suasana yang penuh dengan
keilmuan tersebut. Para peserta seminar
terheran-heran padaku. Tapi aku tak mempedulikan, ini adalah puncak rasa syukur
kepada Allah.
Tokyo, 18 November 2012
Aku
berada di Jepang? Negeri nun jauh dari tanah airku? Tanyaku keheranan, masih
tidak percaya dengan keadaan ini. Aku dapat menghirup udara negeri sakura
dengan penuh penghayatan. Bagiku ini terasa seperti mimpi.
Inilah
aku, santri penjelajah negeri sakura. Di Jepang kami menghadiri seminar tentang
penelitian yang dibawakan oleh Prof. Kiyoto Takashi, Phd. Dari perfektur
Nagakura. Aku dan kawan-kawan mengikutinya dengan penuh antusias. Walau
persentasinya menggunakan bahasa Inggris, aku paham dengannya karena bahasa
tersebut adalah bahasa ibu ketiga di pesantrenku setelah, bahasa Indonesia dan
bahasa Arab.
Di
ujung seminar, ia memberikan selamat kepada kami dan memberikan kepada kami
tantangan untuk membuat karya tulis ilmiah dalam waktu tiga hari. Kami pun
tersontak menelan ludah mendengar kabar itu. Dan lagi-lagi petuah pak kyai di
bukunya terlintas di benakku, kemenangan adalah hasil dari tekad yang kuat.
Kami
semua pun membentuk kelompok sesuai perintah pak prof. dan aku satu kelompok
dengan Galih dan Prasetya. Kami membuat penelitian tentang hegemoni Islam di
Jepang. Tiga hari bukan waktu yang lama, kami berjuang siang dan malam sampai
akhirnya dapat mengumpulkannya tepat waktu. Dan betapa senangnya, ketika pak
prof. mengumumkan bahwa kami berada di posisi teratas dan berhak mendapatkan
beasiswa untuk melanjutkan pendidikan ke Bill University di Prancis. Sontak,
kami pun menangis terharu. Lagi-lagi petuah pak kyai membawaku ke tingkatan
yang lebih tinggi. Aku langsung bersujud di tengah keramaian melampiaskan rasa
syukur yang begitu dalam.
Cita-cita
yang selama ini aku impikan untuk melanjutkan studi ke Prancis, hari ini
terkabulkan. Setelah wisuda, teman-teman seangkatan mengantarkanku ke bandara
Soekarno-Hatta. Mereka bersorak-sorai dan membawa sebuah spanduk bertuliskan,
“Selamat Fan, Bring Glory to France”. Syadam dan Asep yang badannya kecil
melambai-lambaikan tangan. Air mata pun tak terbendung oleh rasa haru yang
begitu mendalam. Terimakasih kawan, aku akan sangat merindukan kalian.
“Fan,berjuang di sana ya!” teriak Zaka, teman sepiringku di pesantren.
∞∞∞
Tombo hati ada lima perkaranya…
Berdering
suara HP menandakan ada sms masuk. Deringan itu menyadarkanku dari lamunan.
Besok Fan, tanggal 18 Mei 2030, reunian
angkatan kita. Datang ya, jangan sampai tidak hadir. Kami tunggu besok! @Zaki.
Sms
tersebut membuatku menegukkan ludah. Betapa bodohnya aku, lupa akan reuni akbar
seperti ini. Tapi bagaimana, besok juga aku dipercaya menjadi tutor sejarah di
Sorbonne University. Aku harus memilih. Aku berpikir sejenak dan akhirnya
memutuskan untuk pulang ke Indonesia menghadiri reuni akbar tersebut.
Aku
langsung bergegas membuka laptop untuk membeli maskapai penerbangan ke
Indonesia hari ini. “Mah, hari ini kita pulang ke Indonesia!” istriku kaget dan
hanya bisa mengiyakan. Pagi itu kami sibuk menyiapkan segala halnya untuk
dibawa ke Indonesia, seperti tiket, kamera, baju dan buku. Akhirnya kami
terbang ke Indonesia. Di pesawat aku mengirimkan email kepada sobat karibku di
Prancis bahwa aku berhalang hadir di seminar. Alhamdulillah ia mengizinkan.
Akhirnya
kami menginjakkan kaki di tanah air tercinta, Indonesia. Kami tiba pukul 21.00
WIB. Di bandara Soekarno-Hatta, perasaanku campur aduk, sulit untuk menentukan
rasa apa yang paling mendominasi dalam hati, rindu, haru, letih dan lain
sebagainya berputar-putar tanpa mempedulikan suasana.
Tiba-tiba
datang segerombolan wartawan mendekati kami. Aku tahu, yang mereka tuju adalah
aku. Di Indonesia, akhir-akhir ini banyak tersiar namaku karena berhasil
menemukan teori baru dalam dunia sejarah. Aku berhasil memutarbalikkan sejarah
dunia 180 derajat. Sejarah yang dulu didominasi oleh-oleh barat berubah menjadi
dominasi Islam. Aku berhasil meyakinkan dunia bahwa sejarah Islam adalah
sejarah yang paling berpengaruh di dunia.
Entah
dari mana mereka tahu bahwa aku kembali ke Indonesia hari ini. Tanpa memikirkan
itu, aku dan keluargaku berjalan di tengah kerumunan wartawan yang sudah stand by di gerbang arrival
sembari menjawab pertanyaan-pertanyaan mereka. Di tengah kerumunan
tersebut, tiba-tiba ada tangan yang menggenggam tanganku dan menarikku keluar
dari kerumunan. Otomatis istri dan anak-anakku tertarik olehku. Ternyata dia
adalah Adam, sobat karibku di pesantren.
“Cepat
sini, kerumunan ini sungguh menyebalkan. Janjimu kepadaku sudah terlaksana
untuk memutarbalikkan alur sejarah” ucapnya sambil bercanda. Aku dan keluargaku
tersenyum mendengarnya dan mengangguk-angguk serempak.
Besoknya,
aku sangat terkejut melihat pemandangan yang ku lihat. Semua kawanku berkumpul
menjadi satu di pesantren kami, Daar el Qolam 3. Mereka semua telah berubah,
ada yang menjadi pedagang, pebisnis, dokter, dosen, kyai, da’i, pengusaha,
polisi dan lainnya. Ketika aku datang, mereka semua menyapaku dengan hangat.
Dengan guyonan kami bercanda dalam keharuan.
Siang
hari, kami sowan ke kyai Syahid dan
berziarah ke makam pak Kyai Ahmad Rifa’I Arief. Di sana aku hanya bisa menangis
haru. Mengingat betapa dahsyatnya petuah pak kyai dalam perjalanan hidupku. Aku
memeluk makamnya lalu mendoakannya dengan penuh sendu. “Terimakasih pak kyai,
berkatmu, kaki ini, tangan ini, mata ini dapat menyentuh dan menyeberangi
lautan serta daratan yang dulu kau katakan tak mungkin tidak bisa dilalui”.
Berkatnya aku dapat mengerti apa itu makna dari keyakinan. Semakin dewasa aku
dapat memahami petuahmu, bahwa kemenangan adalah hasil dari keyakinan yang
terpatri kuat dalam sanubari. Terimakasih pesantrenku.
∞∞∞