Mengembalikan Tujuan Pendidikan
Oleh : Savran Billahi
“Ilmu
meninggalkan pencarian kebenaran dan beralih untuk mencari kekuatan”,inilah
ketakutan dan ungkapan kritis Francis Bacon, seorang filsuf sekaligus penulis
asal Inggris, terhadap dunia pendidikan. Kekuatan yang dimaksud adalah kekuatan
berbentuk materi. Ia beranggapan bahwa kemajuan zaman dapat menenggelamkan
manusia ke dalam perbudakan materi. Lebih jauh, keluhuran moral dan kepekaan
ruhaniah dapat merosot dan hilang. Manusia bahkan dapat tenggelam ke dunia
bekerja untuk mengonsumsi dan mengonsumi untuk bekerja.
Sejatinya
ramalan tersebut terjadi zaman sekarang, ini dapat dilihat ketika banyak orang,
biasanya orangtua, bertanya kepada anaknya tentang pemilihan jurusan dan
universitas; mau kerja apa nanti? Pertanyaan ini seakan
menunjukkan bahwa kekayaan mater iadalah tujuan dari pendidikan. Pada akhirnya,
pertanyaan sederhana ini memunculkan diskriminasi instansi pendidikan dan
jurusan di dunia perkuliahan.
Ironis, bila pendidikan yang bertujuan memerdekakan dan
memanusiakan manusia akhirnya menjadi kabur. Pendidikan yang seharusnya
membebaskan manusia dari perbudakan kerja jasmani dan menambah waktu luang,
ternyata tak dapat berbuat demikian. Pendidikan yang semestinya membuat manusia
dapat mengerti manusia lainnya malah melahirkan pribadi-pribadi yang
individual. Pendidikan yang seharusnya menuntut kebenaran malah mengedepankan
pekerjaan sebagai tujuan. Akhirnya, pendidikan bukan menciptakan persatuan,
tetapimewujudkan persaingan.
Mungkin kita
dilema akan hal ini, mengikuti pendapat orangtua atau mengikuti tujuan yang
benar dalam mencari ilmu. Dilema ini bahkan akan meninggi bila orangtua
benar-benar serius mengarahkan kita untuk masuk jurusan/instansi yang
berpotensi kerja cepat. Orangtua tentu berpandangan seperti itu karena
pengalaman hidupnya, dan mungkin juga pegalaman hidupnya karena pengaruh
orangtua mereka sebelumnya. Semua itu akhirnya menjadikan Indonesia sebagai
tempat yang penuh dengan orang bertarung mencari pekerjaan, dan
instansi/jurusan jadi oli untuk itu. Akhirnya, perlahan tujuan pencarian ilmu
pun menghilang.
Banyak
siswa yang beralasan masuk instansi terkenal, sebut saja, ui, ugm, unair,
unpad, atau stan, stis, dan lainnya, hanya untuk cepat mencari uang. Ketika
ditanya, untuk apa kamu susah-susah ikut seleksi instansi A, B, atau C? katanya,
ketika melamar pekerjaan cv kita akan didahului atau itu kan
kerjanya pasti atau kalau masuk sana gampanglah dapat
jabatan. Terlalu frontal mungkin penulis menulis ini, tapi inilah
fakta. Kalau tidak percaya, silahkan survey sendiri. Penulis yakin anggapan ini
benar, kalaupun tidak jadi alasan pertama, pasti pernah terucap kata-kata itu
oleh si pelajar.
Munafik memang
bila kita tidak membutuhkan uang. Semua orang butuh uang, tapi yang penulis
tekankan di sini jangan jadikan instansi atau jurusan yang kita jadikan wadah
untuk belajar adalah jalan untuk meraih itu. Lagi-lagi masalah niat, tidak ada
dalil yang menyatakan tujuan belajar adalah untuk mencari pekerjaan. Namun
pencarian ilmu adalah untuk melengkapi ibadah kita. Tulisan ini bukan untuk
menggurui, tapi untuk mengingatkan kepada diri sendiri dan beberapa dari teman
yang lain. Hidup ini memang sulit untuk menemukan sebuah niat, tapi yang
terpenting adalah saling mengingatkan. ad-din an-nasihat, agama
adalah nasehat.
Tokoh-tokoh
seperti Socrates, Aristoteles, Ibnu Sina, al-Kwarizm, Ibnu Khaldun, Ibnu
Batutah, Galileo, Mendel, Karl Marx, Richard Thervetick, Thomas Alva Edison,
Soekarno, Hasyim Asyari, Ahmad Dahlan, M. Hatta, Tan Malaka, Syahrir, dan
lainnya patut kita ikuti. Mereka belajar untuk mencari kebenaran dan memberikan
manfaat kepada orang lain, bukan mencari pekerjaan. Dengan itu, secara otomatis
mereka besar dan mendapatkan tempat yang tinggi di masyarakat. Hematnya, dengan
niat yang baik mereka mendapatkan pekerjaan yang lebih dari pekerjaan. Biasanya
orang yang belajar hanya untuk mencari pekerjaan, mereka mendapatkannya, namun
stganan di sana.
Mungkin dalam
kasus kekinian kita juga bisa mencontoh seorang figur helmy yahya. walaupun
merupakan lulusan sekolah kedinasan, dia berani melebarkan sayapnya untuk
belajar. Dari SD hingga Sekolah tinggi dia selalu mendapatkan yang terbaik.
Setelah itu, ia otomatis bekerja, namun dia berani melakukan tindakan out of
the box untuk berhenti dan melanjutkan studi ke luar negeri, lagi-lagi di sana
ia juga mendapatkan yang terbaik. Setelah itu, ia terus mengembangkan ilmunya
dengan dipinta pekerjaan ke sana kemari, baik dari instansi yang ia tinggalkan
ataupun perusahaan-perusaahan ternama, namun niatnya tetap satu, untuk belajar.
Sebagai raja kuis, anak keturunan kyai pedagang asongan ini, mengaku membaca
adalah kebutuhannya. Kuis yang ia bawakan saja, pertanyaannya semua berasal
dari dia. Wajar saja, bila pertanyaannya selalu berbobot. Begitulah jika
belajar diniatkan dengan benar.
Secara
historis, permasalahan yang dibahas di sini juga pernah terjadi pada
masakolonial. Kolonialisme yang menjadi bayang-bayang membawa dampak terhadap
kolonisasi pendidikan. Hal itu membentuk pola pikir masyarakat
untuk menjadi manusia yang mempunyai keahlian tetapi tidak memiliki
kemerdekaan. Oleh sebab itu, muncul golongan elit fungsionalis, yang bekerja
sebagai aparatur negara dan memiliki jaminan hidup yang tetap, namun apatis
terhadap nasib bangsa.
Hal
tersebut yang membuat Ki Hajar Dewantara, bapak pendidikan Indonesia, geram dan
melahirkan sebuah konsep pendidikan yang seharusnya dijalankan. Untuk masalah
itu, ia menawarkan sistem mengajar yang dinamakan sistem among. Sistem
ini menyokong kodrat alam peserta didik, bukan dengan perintah dan larangan,
tetapi dengan tuntunan dan bimbingan, sehingga perkembangan batin seseorang
dapat berkembang dengan baik sesuai dengan kodratnya.
Di zaman
milenium ini semestinya kita perlu memahami kembali tujuan dari pendidikan,
bukan menjadi penjara namun berfungsi sebagaikunci kebebasan. Pendidikan juga
bukan perkara menghasilkan pekerjaan dan yang kalah menjadi pengangguran.
Inilah tantangan pendidikan generasi dewasa ini. Generasiyang memahami tujuan
pendidikan akan banyak membantu bangsa dalam meraihkeberhasilan.
Pada akhirnya, upaya menemukan kembali tujuan pendidikan mesti
menjadi agenda pertamamasyarakat Indonesia. Dalam hal ini, pemerintah memegang
tanggung jawabterbesar. Oleh karena itu, pemerintah seharusnya mulai
menimalisir sistem pendidikan yang berorientasi pada persaingan. Namun perlu
mengedepankan kebebasan berpikir dan kesempatan terbuka. Sehingga kita perlahan
dapat menghilangkan diskriminasi pendidikan yang disebabkan demaknaisasi tujuan
pendidikan. Dengan demikian, kitadapat menemukan tujuan pendidikan yang bukan
untuk mencari kekuatan. Inilah tugas kita keseluruhan dari instansi mana pun.
Hematnya, ini adalah langkah awal untuk memperbaiki Indonesia: memperbaiki niat
Semoga bermanfaat