Aku
sangat yakin Allah sedang menyiapkan masa depan ku, namun bukan untuk kuraih,
melainkan untuk kubentuk dengan usaha ku, dan aku percaya apapun yang Allah
inginkan untuk terjadi, maka terjadilah. Karenanya aku berimajinasi dengan
bahasa tentang cerita hidupku, bahwa Allah memberi pilihan dalam fantasi, dan
aku diizinkan untuk menciptakan masa depan dengan usahaku. Sampai akhirnya
kutemukan fantasiku nyata, lahir dari sebuah imajinasi dan kekuatan bahasa. Dan
inilah lintas kisahku…. dari Jakarta menuju Famagusta.
Hidup Adalah Seni Memilih
Utara
atau selatan, kiri atau kanan, depan atau belakang, maju atau mundur. Terserah,
Pilih!!!! kata Belati dalam puisinya.
Kutandai
tiga maskot penting dalam hidupku –paling tidak sampai dengan saat ini-
kusimpan dan kukenang sebagai tanda dalam perjalanan pencarian ilmu
seorang anak bangsa: kaos Mapaba Universitas Nasional, Kartu Ujian S2
Universitas Indonesia, dan Kunci Kantor Riset Asisten Eastern Mediterranea
University/EMU, Turki. Mungkin
kelak ijazah studi PhD yang distempel Universitas Glasgow sebagai maskot
keempat diteruskan gelar Professor
dari MIT sebagai yang kelima, dan akan ada yang keenam, ketujuh dan seterusnya. Lintasannya
mungkin akan menjadi begitu panjang namun ujungnya adalah sebuah susunan kata dalam
bahasa “surat
perintah legal” untuk melayani rakyat yang dikeluarkan oleh negara, Amiin.
Sejak usia lima tahun, pertama kali aku mengenal bahwa belajar itu
menyenangkan,aku
selalu memimpikan untuk sekolah keluar negeri sekalipun aku tahu keluargaku
tidak cukup kaya untuk mendanainya, bahkan orangtuaku memaksakan menempuh satu tahun Sekolah Taman
Kanak-Kanak demi menekan biaya, padahal saat aku tidak diizinkan untuk lulus
mengingat umurku baru 4 tahun ketika memasuki Sekolah Dasar.Namun dalam perjalanan hidupku aku selalu percaya “banyak jalan
menuju Roma” dan filsafat menuntut ilmuku “sampai ke negeri Cina.” Karenanya dalam pengajian Iqro di Madrasah ku
dulu, aku selalu menunggu saat-saat dimana pak Ustad mengingatkan tentang
pentingnya menuntut Imu dengan mengutip sang Nabi tersebut.
Ibundaku tercinta kadang melisting hal-hal aneh
apa saja yang kulakukan dan menjadi rutinitasku, mulai dari gaya tidur
tengkurep, gaya tidur berbantalkan buku, berbahasaInggris di kamar mandi, sampai berbicara
didepan kaca. Tidak berbeda dengan ibu-ibu lain beliau dulu beranggapan kelak
aku mungkin akan menjadi seorang selebritis, padahal cita-citaku semasa kecil
dulu adalah menjadi astronot. Beberapa kali aku mengganti cita-citaku setiap
kali ditanya guru yang berbeda semasa pendidikanku di tingkat sekolah dasar,
mulai dari menggantinya menjadi wartawan, sutradara film, kartunis, atlet lari
international, sampai terakhir aku sangat ingin menjadi Presiden.Pada akhirnya seorang yang kami percaya
petuah-petuahnya berkata “Ia akan keluar negeri mencari ilmu, apapun yang menjadi cita-citanya.” Alhamdulillah sampailah aku kepada cita-citaku, keluar negeri
menuntut ilmu.
Ujian S2 Universitas Indonesia Ku
Satu pagi yang sibuk dan tergopoh-gopoh.
Tidak boleh lebih dari pukul enam pagi aku harus mencapai bus pertama di halte
Metropolitan Mall Bekasi menuju terminal Kampung Rambutan untuk sebuah
perjalanan dua jam yang akan mengantarkanku pada salah satu pintu masa depan,
itulah yang kufikirkan saat itu. Ujian masuk program Pasca Sarjana Universitas
Indonesia akan dimulai tepat pukul sembilan pagi dikampus UI Depok. Dua hari
sebelumnya aku sudah mensurvei ruang ujian, mengambil kartu serta menyiapkan
peralatan-peralatan tempur yang akan membawaku menjadi pemenang ‘perang
fikiran’ itu.
Akhirnya semua kulalui dengan mudah, alhamdulillah bisikku
dalam hati sambil membalas pesan-pesan pemberi semangat yang dikirim
sahabat-sahabatku. Munandar salah satunya, si pria jangkung yang selalu menjadi
tendem sejatiku dalam dunia aktivis, sosok pemimpin ambisius yang tenang dan
penuh perhatian. Kami mencintai organisasi, mungkin melebihi kecintaan kami
pada diri sendiri. Baginya organisasi adalah nafas dan bagiku organisasi adalah
nadi. Kalau saja dapat dibelah dua tempurung masing-masing kepala kami kuyakin
akan ditemukan bentuk otak yang nyaris sama, segumpal daging merah bertekstur
bagan vertikal-horizontal yang dipenuhi cabang-cabang beranak-pinak, yaitu sebuah struktur organisasi.
Kurang
lebih satu
minggu, pengumuman penerimaan mahasiswa baru program Master UI pun dipublikasikan, Trims ya Allah namaku tercantum didalamnya. Kesampaikan pada
bos sekaligus kakak yang membanggakanku di kantor riset PSIK-Indonesia Kak
Hakim, tentang keberlanjutan rencana studi masterku. Setelah mengucapkan selamat, pesannya satu “kamu harus
menyesuaikan jadwal kuliahmu
dengan jadwal kantor.”
Ini akan menjadi hal yang sangat sulit karena studi yang kupilih tidak
memberikan ruang cukup untuk kuliah sambil bekerja.
Hidup adalah soal memilih, dulu, hari ini
atau nanti. Jika terlalu lama berfikir, maka akan terlambat. Jika terlalu cepat
keputusan dibuat, bukan tidak mungkin penyesalan menyusul kelak. Karenanya yang
harus dilakukan adalah membuat pertimbangan matang untuk sebuah pilihan yang
tepat. Kulupakan opsi untuk
bekerja, walaupun sesungguhnya aku cemas untuk kehilangan kesempatan merintis
karir sebagai Peneliti, hingga hanya ada dua pilihan saat itu: S2 di Indonesia
atau Bekerja di
Turki.Melalui internet, aku
menemukan keluarga yang membutuhkan kemampuan ku untuk mengajar bahasa Inggris
anak mereka. Keajaiban itu pun akhirnya datang setelah kuhasilkan keputusan dari istikharah ku dengan beberapa pertimbangan dari orangtua.Kala itu keluarga Turki ku bertanya tentang
tujuanku bekerja, dan kujawab “aku ingin belajar bahasa Turki yang nantinya
berguna untuk mengajukan permohonan beasiswa Master disana. Professor Serim pun
menjawab emailku dengan surat panggilan wawancara untuk
pendidikan Master di jurusan Ilmu
Komunikasi, Eastern Mediterranean University, Siprus Utara (yang adalah bagian dari Turki).
Itulah hasil dari memahami seni memilih dalam hidup, ketika Allah memberi
kebebasan kepada manusia untuk menentukan, disaat itulah pilihan itu muncul
dengan menyerahkan keputusan kepada Nya. Satu pilihan memberikan
puluhan kemungkinan, mungkin belajar bahasa Turki, mungkin menjadi Akademisi, dan mungkin meneruskan studi PhD
dan mungkin-mungkin yang lain. Karena hidup adalah seni memilih, manusia yang
cerdas tahu bagaimana menentukan pilihannya, sepanjang mereka percaya
seburuk-buruknya opsi tidak ada yang lebih buruk daripada tidak menentukan
pilihan.
Injakan Kaki Pertama di Luar Negeri
Pesawatku akhirnya mendarat di
Istanbul-Turki, setelah dua jam di Changi-Singapur dan lima jam di Doha-Qatar,
masa-masa transit yang membelangakan kedua mataku tentang betapa luasnya dunia.
Menarik nafas sangat panjang, aku bersyukur segala sesuatunya berlalu lancar,
setiap bagian tubuhku utuh dan segala propertiku sampai ke locket transfer
baggage terkait jadwal terbangku selanjutnya menuju Ercan. Untuk
pertama kalinya menginjakan kakiku di tanah Turki, sebuah sejarah besar tentang
kejayaan Ottoman sang penakhluk Eropa. Turki
yang mempersona, sebuah catatansejarah tentang
penakhlukan Islam terbesar
didunia, aku yakin salah satu alasan Uni Eropa sulit menerima keanggotaan Turki
adalah karena mereka pernah bertekuklutut dikaki kaum Turks. Kaum Turks boleh
berbangga dengan sejarah mereka, kelak aku berharap sejarah hidupku pun membanggakan
bangsaku, dan tiada
yang lebih pantas disyukuri selain mempercayai keberadaan Nya yang selalu
bersamaku.
Ketika meninggalkan bandara Soekarno Hatta,
yang terbesit dibenakku adalah “aku pasti kembali” dan ketika menginjakkan
kakiku di Istanbul yang terbesit dibenakku adalah “Sambut aku datang.” Ada tiga
loket kala itu, satu loket menuju Eropa, satu loket masuk Turki, dan loket
terakhir satu loket kembali pulang. Kembali aku dihadapkan dengan persoalan
memilih, namun tentu saja kali ini lebih mudah hanya perlu melangkah maju
sesuai dengan alur yang sudah terbentuk. Sesudahnya akan ada loket-loket
yang lainnya, kembali aku dihadapkan dengan pilihan dan sekali lagi karena
hidup adalah seni memilih, manusia yang cerdas tahu bagaimana menentukan
pilihan. Loket tersebut pun
akhirnya membawa aku pada keluarga baru, keluarga Serim, dan sebagaimana misi
ku mempelajari bahasa, aku pun memperoleh guru bahasa terbaik ku, Yigitcan
Serim.
Sumber: http://lifestyle.kompasiana.com/catatan/2013/12/21/batal-s2-di-ui-alhamdulillah-master-ke-turki-620334.html